Secara historis orang bima atau dou mbojo dibagi dalam 2 (dua)
kelompok masyarakat: Asli dan Masyarakat Pendatang. Masyarakat donggo
atau dou mbojo adalah merupakan masyarakat yang paling lama mendiami
Daerah Bima dibandingkan dengan suku lain mereka bermukim didaerah
pemukiman di daratan tinggi yang jauh dari pesisir, memiliki bahasa adat
istiadat yang berbeda dengan orang Bima atau Dou mbojo. Bahkan menurut
hasil penelitian para ahli dou donggo memiliki kesamaan dengan masyrakat
daerah bagian di lombok utara.
Dou donggo mendiami lereng-lereng gunung Lambitu yang di sebut donggo
ele sementara dou donggo yang mendiami lereng gunung soromandi disebut
donggo ipa, mereka tinggal disuatu perkampungan dengan
rumah adat disebut Lengge di kelilingi pegunugan dan pembukitan serta
panorama alam yang indah dan menarik untuk di nikmati.
Ciri khas masyarakat donggo atau Dou Donggo sering orang menilai bahwa
masyarakat Donggo itu berwatak keras seperti batu karena logat bahasanya
sangat keras dan unik seperti orang yang emosional dan warna kulit
lelakinya agak lebih hitam, wanita bila keluar rumah membawa senjata
tajam sekurang-kurangnya pisau.
Falsafah hidup dou Donggo senang hidup dalam kondisi pegunungan dan
daratan tinggi. Rumah dibangun sangat tinggi sekitar 6 sampai 7 meter
dengan ukuran kecil sekitar 3×4 meter dengan maksud untuk menyimpan
panas, mata pencahriannya dengan berladang dan beburu. Rasa kekeluargaan
dan sukuisme serta sifat gotong royong sangat erat.
Kondisi daerah donggo terdiri dari tanah, pegunungan yang berbatuan dan
kerikil tajam, dibalik kebatuan tersimpan mata air yang suci dan jernih
jauh dari polusi yang menumbuhkan jiwa masyarat donggo yang sebenarnya
yaitu lugu polos dan suci walaupun berbatuan namun daerahnya sangat
subur dan hasil melimpah dua.
Adat dan Budaya
Dibangun tempat tinggal sangat jauh beda dengan masyarakat lain,
yaitu tinggi rumah sampai 7 meter dengan ukuran kecil sekitar 3×4 meter.
Membangun rumah adat atau uma leme untuk ncuhi atau kepala suku dalam
bentuk uma leme, berdindingkan atap seperti alang-alang dengan maksud
menyimpan panas rumah ini terdiri dari empat tiang yang bersegi 8
(delapan) yang dibuta dari kayu sangga yaitu kayu yang bisa menolak bala
dan bencana, rumah ini disebut juga rumah ncuhi atau uma ncuhi. Karena
disinalah disimpan barang-barang sesembakan dan alat-alat kesenian.
Ruang yang bersegi delapan itu menujukan bahwa pemimpin yang brhak menjadi ncuhi yaitu orang yang guru waru.
Pakaian :
- Kebesaran masyarakat donggo : hanya dapat dipakai pada upacara-upcara
adat seperti: sasangi, kabusi rasa, ampa ncuhi, dapu, mpisi, kalero dan
lain-lain. Bahkan dipakai di hadapan raja.
- Laki-laki (Masyarakat Biasa): Sangat beda dengan masyarakat lain
laki-laki selembar baju hitam yang bergaris tegak lurus putih dengan
berbentuk kimono yang berlubang pada lehernya dan lengan yang disebut
kababu compo sendangkan bagian bawah disambung dengan rumbai-rumbai
(jambo), rambut panjang diikat runcing dengan ro’o laju.
- Wanita (Masyarakat Biasa) : memakai ka’ba’bu adan tembe sangga dengan
rambut di gulung (di sanggil) berbentuk bonggolan dan sisir yang dipake
adalah dari tangan.
Pemimpin Desa (‘Dari Ncuhi Memakai Surban Putih) :
Warna pakaian has donggo adalah hitam berbelah biru juga ada beberapa
bolangan merah dengan makna: warna hitam berarti keagungan, warna biru
berarti kasisayang, warna merah berarti kejantanan, warna putih pada
kimono berarti kesucian. Pakaian semacam ini adalah pakaian kebesaran
atau keagungan.
Kesenian :
Kesenian yang disukai masyarakat donggo ipa mpisi dan kalero.
- Mpisi adalah sentuhan kaki akibat haru dan kecewa.
- Kalero adalah dendangan lagu ratapan.
Mpisi semula berawal dari tanta mpisi disertai keyang.
Kalero yaitu kada’da da kaporo akibat dari kematian itu. Sepulang dari
penguburan mayat, dirumah duka terdengar isap tangis dan tanta mpisi
serta kejang.
Akhirnya kata-kata dan kalimat itu di jadikan landasan untuk mengenang
arwah pada setiap 3 hari, 7 hari 10 hari, 44 hari da seterusya. Hari
kematian itulah sebanya di masa tempo dulu bila di laksanakan doa rowa
alam di tampilkan mpisi dan kalero yang di selingi dengan ntu’ba ncala
yaitu permainan sakral pembelaan diri yang dimiliki, tertuanglah segala
perasaan haru dan kecewa yang akhirnya berubah menjadi perasaan tenang
dan damai dari ahli mayat.
DiPosting Oleh : Suriadin
Gambar : Google Image